PROBLEMATIKA ETIS PENANGANAN VIRUS CORONA COVID-19

VIRUS corona baru atau Covid-19 telah merambat hampir di seluruh dunia, sehingga organisasi kesehatan dunia (WHO) menetapkannya sebagai pandemi. Data terbaru yang dilansir dari Worldometers per 28 April 2020 mengemukakan bahwa virus corona telah menjangkiti 3.080.101 orang di seluruh dunia dengan kematian mencapai 212.265 orang dan yang dinyatakan sembuh 929.077 orang. Dalam perhitungan global, Indonesia menduduki urutan 36 dari 210 negara dengan 9.511 kasus di mana 773 meninggal dan 1.254 orang sembuh.

Berdasarkan data itu virus corona telah menjadi ancaman serius bagi penduduk dunia. Tidak heran berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi wabah ini. Dampak yang ditimbulkan juga kena langsung ke masalah sosial, politis, ekonomis, dan psikologis. Pemerintah melalui berbagai kebijakan ekonomi dan politis berusaha mengatasi. Para peneliti bidang kesehatan bekerja keras di laboratorium mencari vaksin yang bisa meminimalisir, mencegah atau bahkan mengobati penyakit ini. Sementara itu, para dokter dan tenaga medis berjuang di garda terdepan menyelamatkan jiwa para pasien yang terpapar virus corona mematikan itu.

Di sisi lain, penerapan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang saat ini telah berjalan diperpanjang lagi. Physical distancing guna memutus rantai penyebaran virus telah berdampak pada persoalan ekonomis, di mana banyak perusahaan tidak beroperasi, sehingga terpaksa karyawannya di-PHK. Akibatnya, angka pengangguran melonjak dan pekerja sektor informal kesulitan mendapatkan nafkah.

Persoalan etis

Namun, pandemi Covid-19 bukan hanya menjadi persoalan medis dan ekonomis, tapi juga menyangkut persoalan etis. Etika atau filsafat moral adalah cabang filsafat yang mengulas baik buruknya sikap dan tindakan manusia. Berbagai persoalan etis muncul ke permukaan, dengan yang paling menonjol ialah persoalan di bidang etika medis, karena para dokter dan para perawat harus segera mengambil keputusan ketika berhadapan dengan pasien Covid-19.

Kriteria apa yang harus digunakan para dokter dan perawat untuk menangani pasien Covid-19 yang membludak, padahal tenaga dokter dan perawat amat terbatas? Bila alat bantu pernapasan (ventilator) lebih sedikit dari pada pasien Covid-19 yang sedang sekarat, kepada pasien yang mana alat bantu pernapasan itu mesti diutamakan? Selain persoalan etika medis di atas, muncul juga persoalan etis dari para penentu kebijakan publik. Para kepala negara dan pemerintahan di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia telah memberlakukan pembatasan mulai dari tingkat moderat, seperti pembatasan sosial berskala besar (PSBB) hingga lockdown dengan maksud menyelamatkan warga dari Covid-19.

Akan tetapi, dampak dari penghentian kegiatan ekonomi dan bisnis selama pembatasan sosial ini telah menyebabkan jutaan orang menderita karena kehilangan pekerjaan, bahkan ada sebagian sampai mati kelaparan karena tidak memiliki akses menerima bantuan. Dalam menyikapi pandemi Covid-19, para pengambil kebijakan kerap berhadapan dengan keputusan dilematis. Contohnya kebijakan pemberlakuan PSBB.

Di satu sisi, kebijakan itu bertujuan menghentikan penyebaran virus corona agar masyarakat tidak tertular. Namun, di lain pihak, hal itu dapat melumpuhkan roda perekonomian sehingga dapat berdampak pada peningkatan angka pengangguran dan kemiskinan. Kalau PSBB tidak diberlakukan dan roda perekonomian berlangsung normal, angka penularan virus corona diperkirakan akan meningkat tajam. Korban meninggal pun tentu akan semakin bertambah. Teori etika sebagai landasan Kalau demikian, tindakan apa yang semestinya dilakukan agar tidak menimbulkan persoalan etis?

Ada berbagai teori etika yang biasanya dijadikan sebagai landasan untuk bertindak dan mengambil keputusan. Setiap aliran ini memberikan jawaban yang berbeda bila mana seseorang berhadapan dengan persoalan etis. Masing-masing memiliki kelebihan dan juga kelemahan. Pertama, etika deontologis yang mendasari sebuah tindakan pada kewajiban. Etika deontologi menekankan kewajiban manusia untuk bertindak baik. Tindakan itu baik bukan dinilai dari akibat atau tujuan baik dari tindakan, melainkan berdasarkan tindakan itu sebagai baik menurut dirinya sendiri.

Etika deontologi menekankan pentingnya kemauan baik dan kesadaran kuat dari pelaku, terlepas dari akibat yang timbul dari perilaku tersebut. Kelemahan etika ini adalah seseorang berhadapan dengan situasi dilematis, misalnya ada dua kewajiban yang saling mengeliminasi satu sama lain, sedangkan keduanya menuntut untuk dilaksanakan. Kedua, etika utilitarianisme yang memandang tindakan yang secara moral benar adalah yang menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi warga masyarakat. Suatu tindakan atau keputusan itu dinilai benar secara moral bila menghasilkan hal terbaik bagi banyak orang, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Prinsipnya adalah “The greatest good for the greatest number”, sebanyak mungkin kebaikan untuk sebanyak mungkin orang. Kendati tampak rasional, etika ini punya kelemahan, antara lain: etika ini secara tidak langsung membenarkan pengorbanan atas minoritas demi mayoritas. Ketiga, etika keutamaan yang berfokus pada pengembangan karakter pada diri setiap orang. Menurut Aristoteles, nilai moral muncul dari pengalaman hidup dalam masyarakat, dari teladan para tokoh besar dalam menghadapi persoalan hidup. Bagi etika keutamaan, nilai moral tidak didikte oleh perintah atau larangan, namun dihayati dari contoh hidup para tokoh tentang kesetiaan, kejujuran, keadilan dan kasih sayang. Seseorang tidak sekadar melakukan perbuatan adil (doing something that is just), tapi adil sepanjang hayat (being a just person).

Manakala seseorang berhadapan dengan situasi dilematis, etika ini memberi jawaban: “Teladanilah sikap dan perilaku moral dari tokoh yang kamu kenal, baik dalam masyarakat atau sejarah saat mereka menghadapi situasi yang sama. Itulah tindakan benar secara moral.” Kelemahan etika ini adalah kesulitan menemukan tokoh yang bisa diteladani. Dalam kaitan dengan pandemi Covid-19 yang memunculkan persoalan etis seperti yang sudah diungkapkan di atas, ketiga teori etika deontologi, utilitarianisme, dan etika keutamaan memberikan jawaban yang berbeda terhadap permasalahan etis seperti kriteria apa yang harus digunakan dokter dan perawat dalam merawat pasien Covid-19?

Prinsip etika deontologis berpendapat, dokter dan perawat harus menolong semua pasien Covid-19 tanpa pandang bulu karena itu adalah kewajiban dan tanggung jawab tenaga medis untuk menyelamatkan nyawa pasien. Namun, akan muncul persoalan dari sekian banyak pasien yang terpapar dengan tingkat keseriusan yang beragam, prinsip apa yang harus dilakukan? Sementara itu, prinsip utama etika utilitarianisme adalah dampak dari perbuatan. Dokter dan perawat berusaha menyelamatkan sebanyak mungkin pasien Covid-19.

Adapun etika keutamaan menekankan bahwa jadilah dokter dan perawat yang baik, karena dari pribadi yang baik akan menghasilkan perbuatan yang baik juga. Panduan WHO dan konteks Indonesia Maka, dalam memecahkan berbagai persoalan etis di era pandemi Covid-19 ini, komisi etik Badan Kesehatan Dunia (WHO), misalnya, menerbitkan Ethics and Covid-19: resource and priority-setting yang berisi panduan etis penanganan Covid-19, baik bagi tenaga medis maupun para penentu kebijakan publik. Intinya adalah prioritas apa yang harus dilakukan dalam bertindak dan dapat dipertanggungjawabkan secara etis.

Menurut dokumen itu, ada empat prinsip etis yang harus diperhatikan untuk memutuskan individu atau kelompok mana yang harus diprioritaskan dalam pelayanan kesehatan khususnya akses terhadap alat atau sumber daya yang langka. Pertama prinsip persamaan (equality) artinya setiap keinginan orang harus diperlakukan sama. Kedua, prinsip manfaat (utility) artinya alokasi sumber daya langka harus digunakan untuk manfaat semaksimal mungkin demi keselamatan banyak orang. Ketiga, prinsip prioritas bagi yang terburuk (the worst off) artinya sarana diprioritaskan bagi pasien yang paling membutuhkan secara medis.

Keempat, prinsip prioritas bagi orang yang bertugas menolong orang lain, artinya alokasi sumber daya langka pertama-tama diprioritaskan bagi mereka yang punya kemampuan untuk menyelamatkan lebih banyak orang lain. Terhadap penentu kebijakan (decision makers), dokumen Ethics and Covid-19: resource and priority-setting mengemukakan empat prinsip etis yang perlu diperhatikan. Pertama, transparansi (transparency): para pemangku kebijakan mengungkapkan keputusan yang diambil secara transparan.

Publik diberitahu kriteria apa yang mendasari keputusan tersebut. Kedua, inklusivitas (inclusiveness), artinya keputusan yang diambil oleh pemangku kebijakan harus terbuka untuk direvisi. Ketiga, konsistensi (consistency) artinya keputusan harus bersifat konsisten, sehingga semua orang dalam kategori yang sama diperlakukan dengan cara yang sama.

Jadi, tidak ada perlakuan istimewa terhadap golongan tertentu. Keempat, akuntabilitas (accountability) artinya pemangku kebijakan memberi alasan dan bertanggung jawab terhadap keputusan yang diambil. Dalam konteks Indonesia dan kebijakan pemerintah untuk memberlakukan PSBB; keempat prinsip transparansi, inklusivitas, konsistensi, dan akuntabilitas perlu mendapat perhatian. Sejauh mana pemerintah transparan dalam memberikan informasi mengenai pandemi Covid-19 kepada masyarakat? Sejauh mana pemerintah terbuka terhadap kritik atau masukan terhadap keputusan yang diambil? Apakah warga masyarakat yang terdampak Covid-19 memperoleh akses yang sama terhadap bantuan sosial (bansos) yang digelontorkan pemerintah?

Masih banyak pertanyaan yang bisa dilontarkan. Namun, yang pasti pandemi Covid-19 bukan hanya menyangkut persoalan medis dan ekonomis, tapi juga menjadi persoalan etis yang membutuhkan refleksi yang lebih dalam. Maka diperlukan kerja sama dan sinergitas antara berbagai pemangku kepentingan seperti ahli kesehatan, ekonom, penentu kebijakan (pemerintah), dan ahli etika, untuk mencari solusi atas persoalan yang muncul di era Covid-19 ini.

(c) Dr. Raja Oloan Tumanggor, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara Jakarta.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Problematika Etis dalam Penanganan Virus Corona Covid-19”, https://www.kompas.com/sains/read/2020/04/28/193000623/problematika-etis-dalam-penanganan-virus-corona-covid-19?page=all.

Editor : Shierine Wangsa Wibawa

 

FENOMENA BEGU GANJANG DAN TANTANGAN PASTORALNYA

Belakangan ini berkembang isu begu ganjang di  Sumatera Utara, dan orang yang disangka memiliki begu ganjang diusir dari desa, malahan ada yang sampai dibunuh dan rumahnya dibakar. Fenomena tersebut membuat orang bertanya apakah begu ganjang, darimanakah asal-usul dan makna kata tersebut. Selain itu gejala ini menjadi tantangan serius bagi kehadiran kekristenan dalam karya pastoralnya di tengah-tengah jemaat.

Paparan ini bukan bermaksud menjawab segala persoalan yang muncul sehubungan dengan begu ganjang, tapi hanya sebatas memberikan sedikit pemahaman terminologis dan sikap pastoral apa yang bisa dilakukan berhadapan dengan isu begu ganjang.

Secara sederhana dan harafiah begu sebetulnya berarti roh, sedangkan ganjang artinya panjang. Untuk memahaminya, begu ganjang mesti dilihat dalam konteks yang lebih luas dari ‘teologi’ dan ‘agama’ tradisional suku Batak Toba sendiri, secara khusus paham ‘pneumatologi’ Batak Toba (pneuma = roh, spirit). Dari sudut pandang ilmu agama-agama dapat dikatakan bahwa dalam diri orang Batak Toba kuno telah terdapat konsep tentang keagamaan, yang walaupun orang Batak Toba kuno sendiri belum menyadarinya sebagai manifestasi keagamaan.

Masyarakat Batak Toba kuno telah berhasil mengembangkan suatu bentuk keagamaan primitif dengan menampilkan tokoh keallahan, diantaranya Mulajadi Nabolon sebagai Allah yang menciptakan segala sesuatu termasuk manusia, Debata Natolu yang terdiri dari BataraguruSoripada, dan Mangalabulan, dan terakhir adalah Debata Asiasi sebagai lambang kesatuan serta totalitas.

Zat kehidupan

Selanjutnya, masyarakat Batak Toba kuno percaya, disamping para Debata masih ada kekuatan lain yang erat hubungannya dengan kehidupan manusia. Malah baik buruknya hidup manusia tergantung pada respon yang diberikan pada kekuatan dan tenaga ini. Mereka itulah yang disebut dengan tondi dan begu.

Tondi (roh, nyawa) berada dalam tubuh manusia dan merupakan satu kesatuan. Manusia menjadi makhluk yang hidup karena memiliki tondiTondi memiliki zat kehidupan yang berlangsung selama-lamanya dan tidak dapat dirusak oleh apapun. Orang Batak Toba kuno mengenal dua jenis tondi, yaitu: tondi yang terdapat dalam tubuh manusia dan berhubungan dengannya pada masa kehidupan manusia saja. Kedua, tondi yang merupakan bayangan yang melanjutkan aktivitas manusia. Artinya, manusia secara biologis mungkin telah mati, tapi aktivitasnya masih dilanjutkan oleh tondi-nya.

Kehadiran tondi dalam tubuh manusia merupakan faktor penentu bagi kesehatan manusia. Timbulnya sesuatu penyakit, kegelisahan, atau kemalangan diyakini sebagai akibat dari lemahnya tondi, atau kepergian tondi dari tubuh manusia. Bila kepergian tondi berlangsung lama dan tidak datang lagi ke dalam tubuh dikhawatirkan bisa menyebabkan kematian bagi manusia. Konon ada empat penyebab tondi meninggalkan tubuh manusia yaitu saat tidur, terkejut, mimpi dan kematian (R. Pasaribu, 1988:130-131).

Rasa takut

Apabila orang meninggal dunia, maka tondi berobah menjadi begu (Ph.L.Tobing, 1956:101). Jadi roh-roh yang menjadi begu inilah yang menimbulkan rasa takut bagi manusia yang masih hidup. Adanya rasa takut menjadi faktor utama aktivitas orang Batak Toba kuno untuk mengkultuskannya. Ini pula menjadi dasar ritus (kebaktian), yaitu upaya menghormati dan memuja begu sesuai keyakinannya (R.Pasaribu, 1988:125).

Pada umumnya begu dibagi dua golongan, yaitu (1) begu dari orang yang sudah meninggal, dan (2) begu lain yang berkeliaran di alam semesta yang secara umum dalam bahasa sehari-hari biasa disebut hantu (Parkin, 1978:148). Menurut sifatnya ada begu yang jahat dan begu yang baik (Marbun-Harahap, 1987:30). Sebenarnya orang Batak Toba kuno tidak menyebut begu kepada arwah orang yang dihormatinya. Arwah orang yang dicintai dan dihormati biasa disebut dengan sumangot (roh yang dipuja) dan  sombaon (roh yang disembah).

Sehubungan dengan itulah ada ritus pemujaan nenek moyang berupa penggalian tulang belulang dari kuburan sementara (mangongkal holi) dan pemakaman kembali yang dilakukan bagi leluhur yang dianggap memiliki pengaruh istimewa. Melalui penghormatan, misalnya, dalam upacara adat diharap, bahwa roh nenek moyang akan diangkat menjadi sumangot. Bila dilakukan penghormatan lebih besar lagi bagi sumangot dan keturunannya menjadi kelompok besar, maka sumangot menjadi sombaonSombaon dipandang sebagai roh yang berkuasa dan harus dihormati, malah dipercaya dekat dengan para Debata yang menguasai kehidupan manusia.

Ada bermacam ragam sebutan untuk arwah orang mati yang dinamai begu, antara lain adalah begu laos bagi arwah orang yang semasa hidupnya merupakan pengemis, begu gunung untuk arwah orang yang sewaktu hidup bekerja sebagai pandai besi, konon arwahnya ditempatkan oleh Mulajadi Nabolon di puncak gunung. Begu jau adalah arwah orang yang tidak dikenal, begu nurnur bagi arwah orang yang mati tapi tempatnya belum sempat diukur sewaktu dimakamkan, begu siharhar untuk orang yang mati dengan tidak meninggalkan keturunan. Sementara begu antuk (roh pemukul) dan begu ganjang adalah sebutan bagi begu yang dapat memukul orang dengan tiba-tiba hingga menemui ajalnya. Kedua jenis begu ini dianggap banyak menyebarkan penyakit menular seperti kolera, sampar dan sebagainya.

Demikian ulasan singkat mengenai paham orang Batak Toba kuno tentang begu dalam koteks ‘pneumatologi’ Batak Toba tradisional. Sehubungan dengan begu ganjang yang diyakini sebagai personifikasi bagi segala jenis roh-roh yang mampu membuat orang meninggal secara mendadak, segera muncul pertanyaan berikut: Adakah gejala dan isu begu ganjang yang sempat hangat di Sumatera Utara sebetulnya hanya merupakan gejala menularnya berbagai jenis penyakit membahayakan yang tentu saja dapat merenggut nyawa manusia dalam waktu singkat? Kalau memang itu, cara mengatasinya adalah menggalakkan pengobatan secara medis, bukan dengan menuduh dan membinasakan orang yang diduga memiliki dan memelihara begu ganjang.

Pendampingan  pastoral?

Oleh karena itu, dalam menghadapi masyarakat atau umat yang menyebarluaskan isu begu ganjang sebetulnya dibutuhkan pendekatan pastoral yang bijaksana.

Terlepas dari persoalan apakah memang begu ganjang ada atau tidak, menarik untuk mengamati mengapa masyarakat menghembuskan isu begu ganjang tersebut. Berbagai faktor, misalnya, kecemburuan sosial, persoalan ekonomi, dan persaingan politis bisa mendasari orang memunculkan isu begu ganjang. Kegersangan dan kehampaan iman kristiani serta kebuntuan dalam menghadapi segala jenis persoalan kehidupan sehari-hari juga dapat merangsang orang untuk cepat melemparkan tanggungjawab dan kesalahan kepada pihak lain. Dengan meminjam terminologi begu ganjang orang merasa lebih gampang menghakimi pihak lawan atau orang lain yang tidak disenangi sebagai pihak yang bersalah, sumber permasalahan, dan penderitaan, maka harus segera dibinasakan.

Berhadapan dengan gejala ini beberapa kebijakan pastoral yang barangkali bisa dilakukan adalah: Pertama, memberikan penjelasan yang benar secara antropologis, historis dan sosiologis kepada jemaat seputar begu ganjang, sehingga orang mengerti latar belakang kemunculan kata begu ganjang pada masyarakat. Kedua, menggalakkan diskusi dan seminar secara teratur mengenai isu yang hangat di masyarakat, sehingga umat merasa terlibat dan turut memikirkan pemecahan atas persoalan yang muncul di antara mereka. Ketiga, mengadakan pendekatan dan pendampingan pastoral kepada kedua belah pihak baik korban atau pihak yang dituduh memelihara begu ganjang, maupun kelompok masyarakat yang yang sudah dan/atau potensial bertindak anarkis.

*)Tulisan ini sudah dimuat di Mingguan HIDUP edisi no 36, 7 September 2008, h. 8-9.

© Dr. Raja Oloan Tumanggor adalah alumnus Westfaelische Wilhelms-Universitaet Muenster, Jerman dan saat ini dosen di Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara Jakarta.

Telah Terbit Kisah Perjuangan Sisingamangaraja XII di Sionom Hudon

Cover Kisah perjuangan Sisingamangaraja 12 ok

Judul: Kisah Perjuangan Sisingamangaraja XII di Sionom Hudon

Penulis: Wasi Tinambunan

Editor: Raja Oloan Tumanggor

Penerbit: Genta Pustaka Lestari

ISBN: 978-602-70222-1-8

Hal: 194 hal.+ xii

Tahun Terbit: 2014

Sinopsis: Buku ini berkisah tentang perjuangan Sisingamangaraja XII melawan penjajah Belanda di Sionom Hudon dan sekitarnya yang kini masuk dalam wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas), Sumatera Utara. Walau kisahnya bersumber dari cerita rakyat, namun unik untuk dicermati, karena telah dikisahkan secara turun temurun. Kisah ini dapat membangkitkan kekaguman tersendiri akan kepahlawanan Sisingamangaraja XII yang patriotis. Sisingamangaraja XII dan keluarga berdomisili di Sionom Hudon selama kurang lebih 22 tahun, dan disahkan menjadi warga Sionom Hudon, Boru Bolon. Rumah tinggal keluarga yang dibangun kemudian menjadi markas rahasia, tempat para pejuang berkumpul menyusun strategi menghadapi serangan sang penjajah. Buku ini patut dibaca oleh generasi muda, pelajar, mahasiswa, sejarawan, dan siapapun juga yang mencintai kisah pahlawan nasional.

Berpijak Pada Realitas. Tantangan bagi Pastoral, Misiologi dan Pendidikan Agama Kristen

Cover Buku Berpijak pd Realitas Dr Raja Oloan Tumanggor ok

Judul: Berpijak pada Realitas. Tantangan bagi Pastoral, Misiologi dan Pendidikan Agama Kristen.

Pengarang: Dr. Raja Oloan Tumanggor

ISBN: 978-602-70222-2-5

Hal.: 128 hal.

Penerbit: Genta Pustaka Lestari Jakarta

Tahun: 2013

Sinopsis: Teologi harus berpijak pada persoalan sosial kemasyarakatan. Pijakan pada fakta/realitas akan menghasilkan solusi yang relevan dan dinamis. Setiap warga harus peka mengamati dan menganalisa segala peristiwa yang terjadi di sekitarnya, seperti kemiskinan, krisis pangan, anak jalanan dan persoalan-persoalan lainnya. Situasi konkrit yang beragama menjadi locus theologicus yang mumpuni. Dan, keadaan di lapangan seharusnya menjadi bahan refleksi bagi para pelaku/petugas/pelayan pastoral dan juga para (calon) misionaris. Kiranya apa yang dipaparkan dalam buku ini dapat membantu pembaca dalam membumikan pesan Sang Juruselamat, yaitu mewartakan Kerajaan Allah di dunia. Kiranya butir-butir pesan yang tersirat dan tersurat dalam tulisan ini bagaikan mosaik, yang walaupun terdiri atas beragam tema tapi dapat dirangkai menjadi sebuah figura refleksi nan indah.

Telah terbit buku “Adat und Christlicher Glaube” di Muenchen – Jerman

Gambar

Judul     : Adat und Christlicher Glaube. Eine missionstheologische Studie  zur Inkulturation des christlichen Glaubens unter  den Toba-Batak (Indonesien)

Penulis : Raja Oloan Tumanggor

Penerbit: Akademische Verlagsgemeinschaft Muenchen (AVM) Muenchen, Jerman, 2014

Halaman : 312

ISBN-10  : 3869245980

ISBN-13  : 978-3869245980

Sinopsis:

Buku ini adalah disertasi dalam meraih doktor teologi dari Fakultas Teologi Katolik Westfaelische Wilhelms-Universitaet (WWU) Muenster, Jerman, yang berhasil dipertahankan pada 2006 lalu. Dibahas bagaimanakah hubungan adat Batak dengan iman Kristen dialami dan direfleksikan oleh orang Batak dalam gereja Katolik. Sejak Konsili Vatikan II gereja Katolik di Tanah Batak berusaha mensinergiskan iman kristen dalam adat, walaupun upaya itu bukan tanpa tantangan. Namun pada prinsipnya penulis berpendapat bahwa inkulturasi iman kristen kristen yang sesungguhnya bukan hanya sebatas penggunakan simbol-simbol adat Batak di dalam liturgi, tapi jauh lebih dalam yakni terjadi transformasi timbal balik antara iman kristen dan adat Batak.

Pemesanan dapat langsung dihubungi penerbit AVM Muenchen Jerman atau lewat amazon.de:

http://www.avm-verlag.de/buecher.html

http://www.amazon.de/Adat-christlicher-Glaube-missionstheologische-Inkulturation/dp/3869245980/ref=sr_1_2?ie=UTF8&qid=1400554861&sr=8-2&keywords=tumanggor

Dilema Pembajakan Buku

Buku disebut jendela dunia dan pembangunan peradaban. Ironisnya, di Indonesia, pembajakan buku masih banyak terjadi dengan berbagai alasan. Harian Kompas, kemarin, melaporkan dilema pembajakan buku, terutama buku ilmu pengetahuan yang dibutuhkan mahasiswa. Mahasiswa membeli buku bajakan karena harganya lebih murah daripada buku asli. Perpustakaan kampus juga tak mampu menyediakan buku yang dibutuhkan. Penerbit mengalami kerugian finansial. Yang lebih merugi sebetulnya penulis buku, kerja kerasnya tidak dihargai seperti seharusnya.

Dilema pembajakan buku bukan khas Indonesia. Tekknologi digital makin meningkatkan pembajakan buku dan segala produk kreatif yang dapat ditransfer secara digital. Pembajakan pun tidak lagi mengenal batas negara.

Atas alasan apapun, mengambil karya orang lain tanpa izin pemilik bukan perbuatan terpuji, bahkan dapat dikategorikan tindakan kriminal. Pemerintah coba mencegah pelanggaran terhadap hak kekayaan intelektual (HKI). Untuk buku, misalnya, ada Undang-Undang Hak Cipta No 19 Tahun 2002.

Perlindungan HKI sangat keras di negara maju, dilakukan oleh negara dan komunitas industri serta bisnis. Komunitas bisnis akan mendesak pemerintah mereka melindungi HKI di dalam negeri dan di negara lain.

Dalam banyak perjanjian perdagangan, perlindungan HKI termasuk salah satu syarat. Misalnya, kesepakatan perdagangan bebas dalam Kemitraan Trans Pasifik (TPP) yang dimotori Amerika Serikat serta beranggotakan negara Asia Timur dan Pasifik.

Perlindungan tersebut bukan mengada-ada. Negara kaya membuktikan, pengembangan iptek dan inovasi kunci pertumbungan ekonomi. Untuk mendorong inovasi dan pengembangan iptek, diperlukan biaya sangat besar sehingga produknya harus dilindungi dari pembajakan.

Indonsia juga ingin melindungi HKI dengan alasan sama. Karena itu, perlu dicari cara agar kepentingan semua pihak dapat dipenuhi.

Mari bercermin pada cara negara berkembang lain melindungi HKI sekaligus mendorong tumbuhnya inovasi dan iptek tanpa membebani masyarakat. India dan Tiongkok mendorong rakyatnya membaca. Harga buku dibuat sangat murah sehingga warga seperti mendapat insentif saat membeli buku asli. Buku berbahasa asing sekalipun harganya jauh lebih murah di Beijing daripada di Jakarta.

Banyak hal dapat dilakukan pemerintah agar harga buku menjadi murah. Yang diperlukan adalah keberpihakan, mulai dari keringanan pajak untuk memperoduksi kertas dan buku serta memperbaiki tata niaganya hingga rekayasa sosial agar masyarakat gemar membaca buku asli.

Tanpa keberpihakan negara, masyarakat terpaksa akan terus membeli buku bajakan. Inovasi dan pengembangan iptek akan berjalan lambat. Ujungnya, Indonesia sulit bersaing dalam kopetisi global.

(Tajuk Rancana Kompas Sabtu 5 April 2014, hal. 6)

Dosen tak (boleh) hanya mengajar, tapi juga menulis (buku)

Dalam tulisan opini berjudul “Dosen tak (boleh) hanya mengajar” (Kompas, 2 April 2014), Elizabeth Rukmini, rekan dosen di Unika Atma Jaya Jakarta, menyoroti proses perkuliahan/pembelajaran yang dibawakan oleh dosen yang tidak menarik membuat mahasiswa menjadi malas atau malah tertidur di kelas. Selain tidak menarik, bahan perkuliahan yang lebih up to date dan lengkap dapat diakses oleh mahasiswa lebih cepat melalui internet. Maka, kata penulis, dosen tidak saatnya lagi hanya mengandalkan model pembelajaran cara tradisional (traditional teaching), tapi perlu menerapkan model student centered learning (SCL), dimana dosen tidak hanya mempersiapkan materi tapi juga proses penyampaian dan kemungkinan respons mahasiswa yg mungkin tak terduga. Intinya, dosen perlu mempersiapkan bahan kuliah yang melibatkan mahasiswa secara aktif, termasuk mempersiapkan cara penilaian kinerja dosen dalam proses belajar mengajar.

Namun, saya ingin menambahkan, bahwa tidak hanya mengajar, tapi juga menuliskan refleksi, materi kuliah dan hasil penelitiannya dalam bentuk buku atau di dalam sebuah jurnal. Kita dapat melihat betapa masih minimnya publikasi dari dosen di tanah air kita, dibandingkan dengan negara lain. Di Jerman hampir setiap semester ratusan bukan hanya dosen, tapi juga mahasiswa rajin menerbitkan hasil penelitiannya dalam bentuk buku. Maka dalam satu tahun bisa dicapai ribuan hingga puluhan ribu judul buku berhasil diterbitkan. Kapankah negara kita Indonesia mampu mengikuti jejak negara maju tersebut?

Telah Terbit Buku “Misi dalam Masyarakat Majemuk”

Cover Misi dalam Masyarakat Majemuk 138kb

 

Judul Buku: Misi dalam Masyarakat Majemuk

Penulis: Dr. Raja Oloan Tumanggor

Penerbit: Genta Pustaka Lestari, 2014

Halaman: 90 + viii

ISBN: 978-602-70222-0-1

Sinopsis:

Situasi masyarakat Indonesia yang majemuk (pluralis) membutuhkan rekonstruksi pemahaman mengenai misi dan misiologi. Kemajemukan agama dan budaya menjadi sesuatu yang tak terpisahkan dari kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Oleh karena itu perlu digali pemahaman yang baru mengenai misi yang bertolak dari konteks pluralisme di Indonesia.

Dalam buku ini dicoba dibahas bagaimana misi dan misiologi dipahami dalam konteks pluralitas di Indonesia. Paradigma misi yang bagaimanakah sesuai dengan konteks Indonesia? Tujuannya adalah agar teologi misi yang masih di awang-awang dapat mendarat di bumi Indonesia. Dengan kata lain, agar tercipta suatu misiologi yang kontekstual dan relevan dengan situasi masyarakat Indonesia.

Pemesanan bisa dilakukan via: lusoloania@gmail.com atau 0813-86158628

 

Menguak Tabir Sejarah Perbukuan

Tahukah Anda kapan hari buku sedunia? Unesco menetapkan pada tahun 1995 bahwa Hari Buku Sedunia jatuh pada 23 April. Maka sepantasnya pada tanggal itu setiap tahun dirayakan Hari Buku Sedunia (HBS). Kalau dirujuk sejarahnya, keberadaan buku mulai sejak abad 3 Sebelum Masehi ketika gulungan papyrus mulai dikenal di Mesir. Lalu pada abad 1 Masehi Orang Yunani dan Orang Rowawi menggunakan gulungan papyrus ini dan membentuk Codex. Codex ini adalah kumpulan beberapa pergamen yang diikat dengan benang dan yang ditulisi di dua sisinya. Codex inilah yang konon menjadi cikal bakal terjadinya buku seperti yang kita pahami sekarang ini.

Pada abad 14 pergamen ini diganti dengan bahan yang lebih murah dan praktis yaitu kertas. Pabrik kertas pertama di Jerman sudah ada di Ulman Stromer (Nuernberg) dari tahun 1390. Lalu pada 1450 Johannes Gutenberg menemukan percetakan buku yang pertama. Malahan di Korea 200 tahun sebelum penemuan Gutenberg, sudah digunakan huruf-huruf bergerak dari metal sebagai bahan percetakan, barangkali hal itu hasil pengembangan teknik percetakan dari Cina. Namun, model ini tidak berkembang dan sedikit digunakan.

Berkat perkembangan teknik percetakan di Eropa dan produksi kertas yang semakin gampang, maka buku sudah bisa diproduksi secara massal. Masa reformasi, pencerahan dan perkembangan ilmu pengetahuan turut memberi andil bagi kemajuan perbukuan. Kini buku tersedia bukan hanya dalam bentuk konvensional, tapi juga dalam bentuk digital. Buku tidak juga harus dicetak dalam jumlah besar, kini dimungkinkan juga untuk mencetak dalam jumlah satuan tergantung kebutuhan (Print on Demand). (ROT, dari berbagai sumber)

Keabadian Sebuah Buku

Ada satu pepatah Latin berbunyi “verba volant, scripta manent”, artinya kata-kata hilang/terbang, sedangkan tulisan tetap tinggal/abadi. Ungkapan ini muncul dari pidato Caius Titus di hadapan senat Romawi. Konteksnya, dia mengatakan bahwa apa yang dikatakan secara verbal/oral akan cepat dilupakan, tapi bila dilakukan secara tertulis akan langgeng/tidak dilupakan. Hal ini terkait misalnya dengan sebuah perjanjian antara dua pihak. Perjanjian lisan akan gampang dilupakan, tapi perjanjian tertulis akan tetap diingat.

Apa kaitannya dengan perbukuan? Apa yang kita alami, ketahui akan gampang terlupakan atau dilupakan. Namun, bila apa yang kita alami dan ketahui tersebut dituliskan dalam sebuah buku, maka akan bisa dinikmati oleh beberapa generasi. Bisa kita saksikan sendiri, betapa peristiwa kuno tetap bisa diketahui berdasarkan tulisan dalam sebuah dokumen atau buku.

Maka tidak berlebihan kalau kita berjuang menuliskan dan menerbitkan apa yang kita alami, dan kita ketahui dalam sebuah buku, supaya generasi yang akan datang masih bisa menikmati apa yang kita alami, rasakan, dan pikirkan. Bukankah begitu?